Selasa, 26 Februari 2013

DESEMBER TAK SELALU HUJAN


KEPADA ALLAH,  DISURGA.

Ini bulan Desember kan?
Hari ini panas. Sepanas hatimu yang belum mendapat pelanggan hari ini. Kau duduk diam sambil memasang wajah masam. Sudah dua jam kau duduk disitu. Di samping  plasa itu. Di tempat parkiran. Kadang kau berdiri didepan pintu masuk plasa itu, namun kau segera berlari jika pria berseragam yang membawa pentungan itu melihatmu. Kau masih disana menunggu sampai awan berubah hitam. Kau tak seperti teman temanmu yang selalu mengadahkan tangan berharap manusia mengasihinya. Kau suka air bukan? Tapi kau harus tau bahwa tak semua menyukai air. Apalagi air yang terjatuh satu demi satu dari langit.
“Kenapa hari ini tidak hujan sih?” ucapmu pada dirimu sendiri.
Satu hal yang kutahu darimu adik kecil, kau tetap semangat walau apapun yang terjadi. Umurmu yang baru 10 tahun tak membuatmu patah semangat dan mengikuti jejak teman temanmu menjadi  situkang minta minta. Kau tahu pasti bahwa rezeki itu dari Allah dan manusia harus berusaha dengan keras mencarinya. Tak perlulah memasang wajah yang masam, memakai pakaian kotor yang sengaja tak diganti ganti, serta merendahkan nada bicara hanya sekedar mendapat koin koin perak itu. Kalau sekilas mata memandang, kau memang hampir sama dengan mereka. Pakaianmu, raut wajahmu. Tapi kau bukan dari bagian mereka. Ditanganmu terdapat sebuah alat. Yang dapat dibentang. Melindungi tubuh manusia dari butiran butiran air ber PH sekitar enam itu. Payung. Ya, memang sebagai seorang ojek payung hanya hujanlah sumber rezeki mu. Kau mulai putus asa. Sudah hampir satu minggu hujan tak datang.
            Ini sudah minggu kedua dibulan desember, tetapi hujan tak kunjung datang. Yang kau ketahui hanyalah bahwa setiap bulan yang berakhiran ember adalah bulan yang penuh dengan hujan. Kau menggigit-gigit bibirmu. Kau masih duduk di antara mobil berwarna hijau dan silver itu. Entah kau ingin memiliki mobil seperti itu, atau kau hanya bersembunyi menunggu datang hujan, dan jika hujan datang kau akan menuju pintu plasa itu dan menyodorkan payungmu dengan senyuman. Jika hujan datang satpam satpam itu takkan melarangmu lagi. Karena kau memang dibutuhkan, bagi orang orang kaya itu, yang hendak menuju mobil mobil mereka. Jarak pintu plasa dengan parkiran mobil sekitar 10 meter, tetapi tentu saja mereka tidak ingin kulit mereka tertimpa dengan butiran butiran dari awan itu. Bersyukurlah karena  plasa itu berbeda dengan plasa lain yang membuat parkiran di lantai bawah yang tak kan pernah tersentuh air favoritmu.
            Matahari kembali terbenam, waktunya telah habis untuk mewarnai hari hari manusia. Kau kembali pulang. Dengan tangan kosong. Kau masuk kerumah mewah ala orang orang sepertimu. Rumah yang terbuat dari beberapa triplek triplek bekas. Untungnya masih ada atap besar yang menutupi pemukiman kalian. Jembatan itu. Berterima kasih lah pada pemerintah yang telah membuat jembatan. Memang cukup memperihatinkan hidupmu. Semenjak ditinggal ayahmu yang menjadi tulang punggung keluargamu meninggal, tak ada pilihan lain selain pindah kekontrakan yang lebih murah, atau bahkan gratis. Kau pulang dengan wajah merenggut. Kau menyalami ibumu. Ibumu menyuruhmu untuk shalat. Waktu maghrib telah tiba. Kau pun mengambil air wudhu. Beruntunglah kau masih punya ibu yang selalu mengingatkanmu untuk berbuat baik. Profesinya sebagai pemulung tak membuatnya selalu bermurung diri. Dia juga yang mengajarkanmu untuk tidak meminta minta. Lebih baik berusaha sendiri untuk mencari rezeki. Kau tinggal bertiga dirumahmu, bersama ibu dan adik perempuanmu yang masih berumur 6 tahun.
            Selesai shalat kau memanjatkan doa pada-Nya, sama seperti doa doa beberapa hari sebelumnya. “Ya Allah... datanglah hujan besok”..
            Pagi yang cerah kembali datang. Matahari tersenyum pada sejuta umat. Janjinya pada Allah agar selalu datang tepat waktu hari ini tetap dia lakukan, tetapi kau tidak secerah matahari pagi. Kau mulai putus asa. Ibumu menyuruhmu untuk ikut dengannya. Memungut beberapa botol air mineral. Tetapi kau tak mau. Kau tidak mau meninggalkan payungmu sendiri dirumahmu. Kau pun kembali kemarkasmu, tempat favoritmu. Kau berjalan, memasang wajah kusam sambil memikirkan kenapa Allah tak membalas do’a mu. Kenapa Dia tak memperkenankan doa mu. Lalu kau duduk terdiam dikediamanmu itu diantara kendaraan beroda empat itu. Kalau satpam itu melihatmu, dia juga akan mengusirmu karena mengira bahwa tangan mu yang suci itu, yang mereka bilang hina akan mengotori mobil mobil itu. Kau terdiam dan merenung.
Kau mungkin berpikir bahwa didunia, semakin banyak umat, pasti banyak doa. Banyak permintaan. Allah pasti bingung, atau mungkin juga menurutmu permintaanmu terlalu gampang, atau Allah tak mendengarmu. Lalu kau punya sebuah ide yang konyol. Kau kembali kerumah dan mengambil semua uang tabungan yang kau simpan dikaleng susu. Lalu kau pergi ketoko buku untuk membeli kertas surat yang bagus dan sebuah pena yang seharga dengan uang yang kau punya, lalu kembali kekediamanmu.
Ditemani payung setiamu. Kau ingin menulis surat untuk Allah. Untungnya kau masih bisa menulis. Semoga bukan hanya itu yang kau dapat dari hasil SD mu sampai kelas 2. Kau mulai menulis surat pendek yang kau tujukan pada Allah. Menulis dengan sangat kaku. Kau memang suka membaca koran koran yang terjatuh ditempatparkiran itu, tetapi kau sangat jarang menulis. Kau pun memulai menulis huruf K.  Kau sadar bahwa tak ada orang yang menulis surat untuk Allah. Maka dari itu kau menulisnya. Biar hanya suratmu yang dibaca dan diperkenankan. Tapi yang aku herankan, kenapa kau hanya menulis beberapa kalimat. Kalimat yang sangat sederhana.
KEPADA ALLAH
TOLONG DATANGKANLAH HUJAN.
KU MOHON
Kalau kau tahu bahwa hanya suratmu yang dibaca, kenapa kau tidak memohon kepada Allah agar kau diberi uang banyak, atau kau dijadikan menjadi golongan orang kaya.
Kau melangkah penuh harap menuju kantor pos. Kaupun tiba ditempat itu, tempat yang kau harapkan menjadi perantara suratmu untuk Nya. Kau mendekati pegawai pos itu. Wajahnya sinis padamu. Mungkin karena bajumu yang kusam. Kau memberinya surat lalu dia dengan cepat mengembalikan suratmu sebelum kau berbicara sepatah kata pun
“Kau harus menempel prangko pada suratmu” ucapnya agak keras
“Perangko??”tanyamu
“Iya. Harus ada perangko, kalau tidak, suratmu tidak bisa dikirim” katanya padamu, padahal dia sendiri belum tahu tujuan suratmu itu.
“Berapa harganya”
“Ada seribu, dua ribu, lima ribu sampai sepuluh ribu. Semakin besar harganya semakin cepat proses pengirimannya” ujarnya padamu dengan wajah merendahkan.
“Tapi saya tidak bawa uang”
“Ya sudah, kau pulang dulu sana dan kembali kesini dengan membawa uang” perintahnya dengan nada marah. Wajahmu kembali kusam dan keluar ruangan itu dengan perasaan sedih.
            Hari semakin panas. Kau pun pulang dengan berlari lari. Kau harus mengantarkan surat itu secepatnya. Gaji ibumu sebgai pemulung tidak cukup menghidupi keluargamu. Kau berpikir bahwa kau punya kewajiban membantu ibumu mencari uang. Kau pun pulang kerumah dan mendapati ibumu yang sedang menyuap  nasi ala kadarnya kepada adikmu. Kau pun memasang wajah kasihan. Sama seperti wajah wajah temanmu ketika meminta uang pada orang orang. Tetapi kau tak pernah melakukannya. Sekarang baru kau lakukan, tetapi dengan ibumu. Itu wajar saja.
“Kau sudah makan”
“Belum bu”
“itu, ibu belikkan makanan, hari ini tidak hujan pasti kau tak dapat uang kan?” perintah ibumu dengan penuh kasih sayang. Kau pun mengangguk. Kau menatap matanya.
“Boleh tidak aku minta uang ibu”
“Berapa? Buat apa”
“Terserah ibu, ibu adanya berapa”
“Tapi untuk apa”
“Ada yang harus aku beli bu, penting”
            Lalu kak mu mengeluarkan uang ribuan sebanyak tiga lembar. Kau pun senang dan berterima kasih pada ibu mu. Kau pun lari dengan wajah optimis dan melupakan makanan yang telah disediakan ibumu.
“Ini pak, saya beli yang seribu saja pak, tiga lembar” ucapmu pada pegawai yang masih sama seperti tadi. Dia sedikit agak malu karena telah meremehkanmu bahwa tidak mempunyai uang. Dia mengambil 3 buah prangko dan kemudian menempelkannya didepan. Dia tersenyum mengejek melihat surat tujuan mu. KEPADA ALLAH.
“ Maaf nak. Allah itu siapa temanmu? Kenapa kau tak membuat alamatnya?” tanyanya dengan wajah mengesalkan.
“Allah itu tuhan saya pak. Saya ingin Dia membacanya”
“Kau gila ya? Tuhan masih punya banyak urusan penting selain membaca suratmu”
“Tapi pak, bukankah saya sudah membeli prangko”
“Lalu, dimana alamat Allah? Memang kau tahu? Dengan apa kami mengantarnya? Dasar aneh.. pergi pergi” teriaknya sambil mengembalikan suratmu dengan kasar.
“Tolonglah pak”
“pergi!! Aku masih banyak urusan”
Semua orang yang berada diruangan itu melihatmu dengan rasa aneh. Seharusnya mereka menghiburmu dan menjelaskan kepadamu bahwa Allah itu maha mendengar. Dia bahkan lebih dekat dari urat leher kita sendiri. Tak perlulah kau menulis surat karena Dia sudah tahu apa isi suratmu sebelum membacanya.
            Kau pun keluar dengan air mengalir dibola matamu. Kau berusaha menahannya. Kau berjalan menuju markas mu. Kau membolak balik surat itu. Berusaha mencari jalan bagaimana caranya agar Allah membaca surat mu. Kau berhenti di pinggir jalan menuju plasa dan matamu tertuju pada sebuah kotak berwarna oranye. Kau paham betul itu adalah kotak surat. Kau mengambil pena yang masih tergeletak manis di kantong celanamu. Kau menambahkan alamat di suratmu. KEPADA ALLAH DI SURGA. Bukan, kenapa kau buat alamat Allah di Surga. Dia tidak disitu. Dia berada di singgasananya. Lalu kau memasukkan amplop berisikan kertas itu kedalam kotak surat yang berwarna oranye itu, kotak surat yang sudah berkarat, berdebu, dan apakah masih ada tukang pos yang memeriksa kotak surat itu?
            Ada pelangi muncul di hatimu. Matamu bersinar. Kau berjalan melompat lompat dan kembali ke tempat kediamanmu. Wajahmu penuh harap.
*****
Kau melompat lompat di antara titik titik air yang jatuh dari awan menuju bumi, sementara sahabatmu payung kau biarkan terbuka berada diatas kepala seorang pria berdasi. Wajahmu senyum. Hujan merupakan suasana kesukaanmu. Dimana kau bisa berteriak, menangis dan tertawa. Tiada orang yang Melarangmu. Tahukah kau? Bahwa pemanasan global mengubah semuanya. Musim hujan itu tidak ada lagi. Semua berubah. Kau tidak akan selalu melihat hujan dibulan desember.
Dari tadi pagi hujan terus. Wanita berambut jagung itu adalah pelanggan terakhirmu, karena kau memutuskan untuk pensiun hari ini dan kembali bekerja esok hari. Hari ini hujan sungguh deras. Sangat deras. Kau menari nari diantara dinginnya hari bersama air air yang jatuh membasahi tubuhmu sambil memegang payung yang sudah kau kuncupkan kembali.
   Hati mu yang tadi bergejolak gembira berubah drastis ketika melihat ibumu sedang mengangkati benda yang kau sebut kasur itu. Dia menggendong adikmu. Kau pun mendekatinya. Titik titik air besar settik air itu telah berubah menjadi gumpalan air setinggi 20 cm.
“Hujan hari ini sungguh deras, bantu ibu mengangkat tikar itu” teriak ibumu sambil menyeret kasur tipis yang hampir tak berkapas lagi. Sudah terlanjur basah. Sepertinya dia juga baru tiba dirumahmu, namun ibumu tetap menaikkannya keatap rumahmu yang tidak terkena hujan akibat jembatan itu. Tetangga-tetanggamu juga melakukan hal yang sama. Air hujan dari limbah dekat kompleks perumahanmu meluap. Tak seperti biasanya.
Kau bersegera menggulung tikar itu dan menaikkannya keatap rumah triplek mu. Sisa sisa kertas suratmu yang kau belipun ikut mandi bersama air air itu.
Lalu kau pergi
“Mau kemana nak, sekarang masih hujan”
“Aku mau membeli kertas surat bu, aku mau menulis surat untuk Allah agar dia memberhentikan hujan bu” ujarmu sambil berlari menuju kota.
*****
BAHWA hidup ini adil dik, jangan merasa bahwa Allah tak memperhatikanmu, tak mengabulkan apa yang kau mau. Rencanamu memang indah agar hujan datang dan membantumu mendapat rezeki, tetapi rencana Allah jauh lebih indah. Ketahuilah, bahwa tak ada suatu kejadian pun yang tak memiliki hikmah. Yakinlah. 

0 komentar:

Posting Komentar