KEPADA
ALLAH, DISURGA.
Ini bulan Desember kan?
Hari
ini panas. Sepanas hatimu yang belum mendapat pelanggan hari ini. Kau duduk diam
sambil memasang wajah masam. Sudah dua jam kau duduk disitu. Di samping plasa itu. Di tempat parkiran. Kadang kau
berdiri didepan pintu masuk plasa itu, namun kau segera berlari jika pria berseragam
yang membawa pentungan itu melihatmu. Kau masih disana menunggu sampai awan
berubah hitam. Kau tak seperti teman temanmu yang selalu mengadahkan tangan
berharap manusia mengasihinya. Kau suka air bukan? Tapi kau harus tau bahwa tak
semua menyukai air. Apalagi air yang terjatuh satu demi satu dari langit.
“Kenapa
hari ini tidak hujan sih?” ucapmu pada dirimu sendiri.
Satu
hal yang kutahu darimu adik kecil, kau tetap semangat walau apapun yang
terjadi. Umurmu yang baru 10 tahun tak membuatmu patah semangat dan mengikuti
jejak teman temanmu menjadi situkang
minta minta. Kau tahu pasti bahwa rezeki itu dari Allah dan manusia harus
berusaha dengan keras mencarinya. Tak perlulah memasang wajah yang masam,
memakai pakaian kotor yang sengaja tak diganti ganti, serta merendahkan nada
bicara hanya sekedar mendapat koin koin perak itu. Kalau sekilas mata
memandang, kau memang hampir sama dengan mereka. Pakaianmu, raut wajahmu. Tapi
kau bukan dari bagian mereka. Ditanganmu terdapat sebuah alat. Yang dapat
dibentang. Melindungi tubuh manusia dari butiran butiran air ber PH sekitar
enam itu. Payung. Ya, memang sebagai seorang ojek payung hanya hujanlah sumber
rezeki mu. Kau mulai putus asa. Sudah hampir satu minggu hujan tak datang.
Ini sudah minggu kedua dibulan
desember, tetapi hujan tak kunjung datang. Yang kau ketahui hanyalah bahwa
setiap bulan yang berakhiran ember adalah bulan yang penuh dengan hujan. Kau
menggigit-gigit bibirmu. Kau masih duduk di antara mobil berwarna hijau dan
silver itu. Entah kau ingin memiliki mobil seperti itu, atau kau hanya
bersembunyi menunggu datang hujan, dan jika hujan datang kau akan menuju pintu
plasa itu dan menyodorkan payungmu dengan senyuman. Jika hujan datang satpam
satpam itu takkan melarangmu lagi. Karena kau memang dibutuhkan, bagi orang
orang kaya itu, yang hendak menuju mobil mobil mereka. Jarak pintu plasa dengan
parkiran mobil sekitar 10 meter, tetapi tentu saja mereka tidak ingin kulit
mereka tertimpa dengan butiran butiran dari awan itu. Bersyukurlah karena plasa itu berbeda dengan plasa lain yang
membuat parkiran di lantai bawah yang tak kan pernah tersentuh air favoritmu.
Matahari kembali terbenam, waktunya
telah habis untuk mewarnai hari hari manusia. Kau kembali pulang. Dengan tangan
kosong. Kau masuk kerumah mewah ala orang orang sepertimu. Rumah yang terbuat
dari beberapa triplek triplek bekas. Untungnya masih ada atap besar yang
menutupi pemukiman kalian. Jembatan itu. Berterima kasih lah pada pemerintah
yang telah membuat jembatan. Memang cukup memperihatinkan hidupmu. Semenjak
ditinggal ayahmu yang menjadi tulang punggung keluargamu meninggal, tak ada
pilihan lain selain pindah kekontrakan yang lebih murah, atau bahkan gratis.
Kau pulang dengan wajah merenggut. Kau menyalami ibumu. Ibumu menyuruhmu untuk
shalat. Waktu maghrib telah tiba. Kau pun mengambil air wudhu. Beruntunglah kau
masih punya ibu yang selalu mengingatkanmu untuk berbuat baik. Profesinya
sebagai pemulung tak membuatnya selalu bermurung diri. Dia juga yang
mengajarkanmu untuk tidak meminta minta. Lebih baik berusaha sendiri untuk
mencari rezeki. Kau tinggal bertiga dirumahmu, bersama ibu dan adik perempuanmu
yang masih berumur 6 tahun.
Selesai shalat kau memanjatkan doa pada-Nya,
sama seperti doa doa beberapa hari sebelumnya. “Ya Allah... datanglah hujan
besok”..
Pagi yang cerah kembali datang.
Matahari tersenyum pada sejuta umat. Janjinya pada Allah agar selalu datang
tepat waktu hari ini tetap dia lakukan, tetapi kau tidak secerah matahari pagi.
Kau mulai putus asa. Ibumu menyuruhmu untuk ikut dengannya. Memungut beberapa
botol air mineral. Tetapi kau tak mau. Kau tidak mau meninggalkan payungmu
sendiri dirumahmu. Kau pun kembali kemarkasmu, tempat favoritmu. Kau berjalan,
memasang wajah kusam sambil memikirkan kenapa Allah tak membalas do’a mu.
Kenapa Dia tak memperkenankan doa mu. Lalu kau duduk terdiam dikediamanmu itu diantara
kendaraan beroda empat itu. Kalau satpam itu melihatmu, dia juga akan
mengusirmu karena mengira bahwa tangan mu yang suci itu, yang mereka bilang
hina akan mengotori mobil mobil itu. Kau terdiam dan merenung.
Kau
mungkin berpikir bahwa didunia, semakin banyak umat, pasti banyak doa. Banyak
permintaan. Allah pasti bingung, atau mungkin juga menurutmu permintaanmu
terlalu gampang, atau Allah tak mendengarmu. Lalu kau punya sebuah ide yang
konyol. Kau kembali kerumah dan mengambil semua uang tabungan yang kau simpan
dikaleng susu. Lalu kau pergi ketoko buku untuk membeli kertas surat yang bagus
dan sebuah pena yang seharga dengan uang yang kau punya, lalu kembali
kekediamanmu.
Ditemani
payung setiamu. Kau ingin menulis surat untuk Allah. Untungnya kau masih bisa
menulis. Semoga bukan hanya itu yang kau dapat dari hasil SD mu sampai kelas 2.
Kau mulai menulis surat pendek yang kau tujukan pada Allah. Menulis dengan
sangat kaku. Kau memang suka membaca koran koran yang terjatuh ditempatparkiran
itu, tetapi kau sangat jarang menulis. Kau pun memulai menulis huruf K. Kau sadar bahwa tak ada orang yang menulis
surat untuk Allah. Maka dari itu kau menulisnya. Biar hanya suratmu yang dibaca
dan diperkenankan. Tapi yang aku herankan, kenapa kau hanya menulis beberapa
kalimat. Kalimat yang sangat sederhana.
KEPADA
ALLAH
TOLONG
DATANGKANLAH HUJAN.
KU
MOHON
Kalau kau tahu bahwa
hanya suratmu yang dibaca, kenapa kau tidak memohon kepada Allah agar kau
diberi uang banyak, atau kau dijadikan menjadi golongan orang kaya.
Kau
melangkah penuh harap menuju kantor pos. Kaupun tiba ditempat itu, tempat yang
kau harapkan menjadi perantara suratmu untuk Nya. Kau mendekati pegawai pos
itu. Wajahnya sinis padamu. Mungkin karena bajumu yang kusam. Kau memberinya
surat lalu dia dengan cepat mengembalikan suratmu sebelum kau berbicara sepatah
kata pun
“Kau
harus menempel prangko pada suratmu” ucapnya agak keras
“Perangko??”tanyamu
“Iya.
Harus ada perangko, kalau tidak, suratmu tidak bisa dikirim” katanya padamu,
padahal dia sendiri belum tahu tujuan suratmu itu.
“Berapa
harganya”
“Ada
seribu, dua ribu, lima ribu sampai sepuluh ribu. Semakin besar harganya semakin
cepat proses pengirimannya” ujarnya padamu dengan wajah merendahkan.
“Tapi
saya tidak bawa uang”
“Ya
sudah, kau pulang dulu sana dan kembali kesini dengan membawa uang” perintahnya
dengan nada marah. Wajahmu kembali kusam dan keluar ruangan itu dengan perasaan
sedih.
Hari semakin panas. Kau pun pulang
dengan berlari lari. Kau harus mengantarkan surat itu secepatnya. Gaji ibumu
sebgai pemulung tidak cukup menghidupi keluargamu. Kau berpikir bahwa kau punya
kewajiban membantu ibumu mencari uang. Kau pun pulang kerumah dan mendapati ibumu
yang sedang menyuap nasi ala kadarnya
kepada adikmu. Kau pun memasang wajah kasihan. Sama seperti wajah wajah temanmu
ketika meminta uang pada orang orang. Tetapi kau tak pernah melakukannya.
Sekarang baru kau lakukan, tetapi dengan ibumu. Itu wajar saja.
“Kau
sudah makan”
“Belum
bu”
“itu,
ibu belikkan makanan, hari ini tidak hujan pasti kau tak dapat uang kan?”
perintah ibumu dengan penuh kasih sayang. Kau pun mengangguk. Kau menatap
matanya.
“Boleh
tidak aku minta uang ibu”
“Berapa?
Buat apa”
“Terserah
ibu, ibu adanya berapa”
“Tapi
untuk apa”
“Ada
yang harus aku beli bu, penting”
Lalu kak mu mengeluarkan uang ribuan
sebanyak tiga lembar. Kau pun senang dan berterima kasih pada ibu mu. Kau pun
lari dengan wajah optimis dan melupakan makanan yang telah disediakan ibumu.
“Ini
pak, saya beli yang seribu saja pak, tiga lembar” ucapmu pada pegawai yang
masih sama seperti tadi. Dia sedikit agak malu karena telah meremehkanmu bahwa
tidak mempunyai uang. Dia mengambil 3 buah prangko dan kemudian menempelkannya
didepan. Dia tersenyum mengejek melihat surat tujuan mu. KEPADA ALLAH.
“
Maaf nak. Allah itu siapa temanmu? Kenapa kau tak membuat alamatnya?” tanyanya
dengan wajah mengesalkan.
“Allah
itu tuhan saya pak. Saya ingin Dia membacanya”
“Kau
gila ya? Tuhan masih punya banyak urusan penting selain membaca suratmu”
“Tapi
pak, bukankah saya sudah membeli prangko”
“Lalu,
dimana alamat Allah? Memang kau tahu? Dengan apa kami mengantarnya? Dasar
aneh.. pergi pergi” teriaknya sambil mengembalikan suratmu dengan kasar.
“Tolonglah
pak”
“pergi!!
Aku masih banyak urusan”
Semua
orang yang berada diruangan itu melihatmu dengan rasa aneh. Seharusnya mereka
menghiburmu dan menjelaskan kepadamu bahwa Allah itu maha mendengar. Dia bahkan
lebih dekat dari urat leher kita sendiri. Tak perlulah kau menulis surat karena
Dia sudah tahu apa isi suratmu sebelum membacanya.
Kau pun keluar dengan air mengalir
dibola matamu. Kau berusaha menahannya. Kau berjalan menuju markas mu. Kau
membolak balik surat itu. Berusaha mencari jalan bagaimana caranya agar Allah
membaca surat mu. Kau berhenti di pinggir jalan menuju plasa dan matamu tertuju
pada sebuah kotak berwarna oranye. Kau paham betul itu adalah kotak surat. Kau
mengambil pena yang masih tergeletak manis di kantong celanamu. Kau menambahkan
alamat di suratmu. KEPADA ALLAH DI SURGA. Bukan, kenapa kau buat alamat Allah
di Surga. Dia tidak disitu. Dia berada di singgasananya. Lalu kau memasukkan
amplop berisikan kertas itu kedalam kotak surat yang berwarna oranye itu, kotak
surat yang sudah berkarat, berdebu, dan apakah masih ada tukang pos yang
memeriksa kotak surat itu?
Ada pelangi muncul di hatimu. Matamu
bersinar. Kau berjalan melompat lompat dan kembali ke tempat kediamanmu.
Wajahmu penuh harap.
*****
Kau
melompat lompat di antara titik titik air yang jatuh dari awan menuju bumi,
sementara sahabatmu payung kau biarkan terbuka berada diatas kepala seorang
pria berdasi. Wajahmu senyum. Hujan merupakan suasana kesukaanmu. Dimana kau
bisa berteriak, menangis dan tertawa. Tiada orang yang Melarangmu. Tahukah kau?
Bahwa pemanasan global mengubah semuanya. Musim hujan itu tidak ada lagi. Semua
berubah. Kau tidak akan selalu melihat hujan dibulan desember.
Dari
tadi pagi hujan terus. Wanita berambut jagung itu adalah pelanggan terakhirmu,
karena kau memutuskan untuk pensiun hari ini dan kembali bekerja esok hari.
Hari ini hujan sungguh deras. Sangat deras. Kau menari nari diantara dinginnya
hari bersama air air yang jatuh membasahi tubuhmu sambil memegang payung yang
sudah kau kuncupkan kembali.
Hati mu yang tadi bergejolak gembira berubah
drastis ketika melihat ibumu sedang mengangkati benda yang kau sebut kasur itu.
Dia menggendong adikmu. Kau pun mendekatinya. Titik titik air besar settik air
itu telah berubah menjadi gumpalan air setinggi 20 cm.
“Hujan
hari ini sungguh deras, bantu ibu mengangkat tikar itu” teriak ibumu sambil
menyeret kasur tipis yang hampir tak berkapas lagi. Sudah terlanjur basah. Sepertinya
dia juga baru tiba dirumahmu, namun ibumu tetap menaikkannya keatap rumahmu
yang tidak terkena hujan akibat jembatan itu. Tetangga-tetanggamu juga
melakukan hal yang sama. Air hujan dari limbah dekat kompleks perumahanmu
meluap. Tak seperti biasanya.
Kau
bersegera menggulung tikar itu dan menaikkannya keatap rumah triplek mu. Sisa
sisa kertas suratmu yang kau belipun ikut mandi bersama air air itu.
Lalu
kau pergi
“Mau
kemana nak, sekarang masih hujan”
“Aku
mau membeli kertas surat bu, aku mau menulis surat untuk Allah agar dia
memberhentikan hujan bu” ujarmu sambil berlari menuju kota.
*****
BAHWA
hidup ini adil dik, jangan merasa bahwa Allah tak memperhatikanmu, tak
mengabulkan apa yang kau mau. Rencanamu memang indah agar hujan datang dan
membantumu mendapat rezeki, tetapi rencana Allah jauh lebih indah. Ketahuilah,
bahwa tak ada suatu kejadian pun yang tak memiliki hikmah. Yakinlah.
0 komentar:
Posting Komentar